Minggu, 30 Agustus 2020

Bahan dan Alat-alat Membatik

Wawan Setiawan Tirta

Bahan dan Alat-alat Membatik


Perlengkapan membatik, terutama peralatannya, tidak banyak mengalami perubahan dari dahulu sampai sampai sekarang. Dilihat dari peralatan dan cara pengerjakannya membatik dapat digolongkan sebagai suatu kerja yang bersifat tradisionil.
Kain batik yang indah dan menarik tentunya tidak lepas dari bagaimana kelihaian tangan-tangan pengrajin dalam mengolahnya. Berbagai macam cara dapat dilakukan untuk menciptakan karyaseni tradisional ini dan tentunya dengan keuletan dalam menggunakan teknik-teknik tradisional alami yang mampu menghasilkan kain batik dengan ceceg-ceceg yang membentuk suatu pola motif indah akan membuat nilai dari batik tersebut menjadi tinggi dibandingkan dengan pembuatan batik menggunakan teknik moderen seperti cap, printing, sablon dan sebagainya. Dalam pembuatannya ada beberapa hal atau dalam bahasa inggrisnya weapon’s tertentu yang harus dipersiapkan. Berikut adalah perlengkapannya :
Perlengkapan Membatik
a. Gawangan

Gawangan ialah perkakas untuk menyangkutkan dan membentangkan mori sewaktu dibatik. Gawangan dibuat dari bahan kayu, atau bambu. Gawangan harus dibuat sedemikian rupa, sehingga mudah dipindah - pindah, tetapi harus kuat dan ringa.
b. Bandul
Bandul dibuat dari timah, atau kayu, atau batu yang di kantongi. Fungsi pokok Bandul ialah untuk menahan mori yang baru dibatik agar tidak mudah tergeser ditiup angin, atau tarikan si pembatik secara tidak sengaja. Jadi tanpa bandul pekerjaan membatik dapat saja dilaksanakan.
c. Wajan
Wajan ialah perkakas untuk mencairkan malam (lilin untuk membatik). Wajan dibuat dari logam baja, atau tanah liat. Wajan sebaiknya bertangkai supaya mudah diangkat dan diturunkan dari perapian tanpa mempergunakan alat lain. Oleh karena itu wajan yang dibuat dari tanah liat lebih baik dari pada yang dari logam, karena tangkainya tidak mudah panas. Tetapi wajan tanah liat agak lambat memanaskan malam.
d. Anglo
Anglo dibuat dari tanah liat, atau bahan lain. Anglo adalah alat perapian sebagai pemanas malam. Apabila mempergunakan anglo, maka bahan untuk membuat api ialah arang kayu. Jika mempergunakan kayu bakar anglo diganti dengan keren : keren inilah yang banyak dipergunakan orang didesa-desa. Keren pada prinsipnya sama dengan anglo, tetapi tidak bertingkat.
e. Tepas
Tepas ialah alat untuk membesarkan api menurut kebutuhan : terbuat dari bambu. Selain tepas, digunakan juga ilir. Tepas dan ilir pada pokoknya sama, hanya berbeda bentuk. Tepas berbentuk empat persegi panjang dan meruncing pada salah satu sisi lebarnya dan tangkainya terletak pada bagian yang runcing itu. Sedangkan ilir berbentuk bujur sangkar dan tangkainya terletak pada salah satu sisi serta memanjang kesamping.
f. Taplak
Taplak ialah kain untuk menutup paha si pembatik supaya tidak terkena tetesan malam, panas sewaktu canting di tiup, atau waktu membatik. Taplak biasanya dibuat dari kain bekas.
g. Saringan malam
Saringan ialah alat untuk menyaring malam, panas yang banyak kotorannya. Jika malam disaring, maka kotoran dapat dibuang, sehingga tidak mengganggu jalannya pada cucuk genting sewaktu dipergunakan untuk membatik.
h. Dingklik (lincak)
Dingklik atau lincak pada prinsipnya sama, tempat duduk si pembatik. Tetapi pembatik dapat pula duduk diatas tikar.
i. Bak celup.
Bak celup digunakan untuk memberi warna pada kain dengan jenis warna tertentu, sehingga besar kecil bak celup serta jumlah bak disesuaikan dengan kebutuhan.
j. Canting
Canting adalah alat pokok untuk membatik yang dapat menentukan kriteria suatu hasil kerja apakah bisa disebut batik atau bukan batik. Canting terbuat dari tembaga. Tembaga mempunyai sifat ringan, mudah dilenturkan dan kuat meskipun tipis. Gunanya untuk melukis (memakai cairan “malam”), membuat motif-motif batik yang dikehendaki. Canting terdiri dari cucuk (saluran kecil), dan leleh (tangki). Menurut fungsinya ada canting reng-rengan (untuk membatik reng-rengan batikan pertama sesuai pola atau tanpa pola) dan canting isen ( untuk membatik isi bidang). Menurut besar kecil cucuk ada,
1.    cucuk kecil
2.    sedang
3.    besar.
Menurut banyaknya cucuk ada,
1.    canting cecekan /cucuk satu
2.    canting loron/cucuk dua
3.    canting telon/cucuk tiga
4.    canting prapatan/cucuk empat
5.    canting liman/cucuk lima
6.    canting byok/cucuk tujuh atau  lebih dan canting renteng/galaran (bercucuk genap tersusun dari atas ke bawah).
Banyaknya cucuk ada berbagai macam dengan penggunaan yang bervariasi tergantung dari kebutuhan. Menurut Murtihadi dan Mukminatun (1979:45) macam-macam canting tulis adalah canting klowong, canting tembokan, canting cecek, canting ceret.
1.    Canting Klowong
Canting Klowong adalah canting yang dipakai untuk membatik klowongan, canting ini mempunyai ukuran mulut paruh dengan garis tengah 1mm-2mm.

2.    Canting Tembokan
Canting Tembokan adalah canting yang dipakai untuk membatik tembokan atau memperkuat lilin pada kain agar tidak mudah lepas dengan larutan asam.Lebar mulut paruh antara 1mm-3mm.

3.    Canting Cecek atau Sawut.
Canting Cecek atau sawut adalah merupakan canting batik yang dipakai membuat titik dan garis garis yang halus. Lebar paruh antara ¼ mm-1mm

4.    Canting Ceret.
Canting Ceret dipakai untuk membuat garis ganda yang dikerjakan sekali jalan, besarnya lubang tiap mulut canting kurang lebih 1mm.
Seiring perkembangan jaman kini tengah dikembangkan inovasi baru berupa canting elektronik. Canting elektronik ini terdiri dari tiga bagian utama, yakni bak penampung lilin batik atau malam, tangkai pemegang, dan alat kontrol suhu yang berfungsi mengontrol suhu canting. Salah satu kelebihan lain, paruh canting bisa dicopot dan diganti sesuai ukuran yang diinginkan. Seluruh jenis paruh canting, yakni ceceg, klowong, tembogan, dobel ceceg, dan dobel klowong bisa dipasang di tubuh canting. Padahal pada canting tradisional, lima jenis ini terpisah-pisah.
k. Kemplongan
Kemplongan merupakan alat yang terbuat dari kayu yang berbentuk meja dan palu pemukul alat ini dipergunakan untuk menghaluskan kain mori sebelum di beri pola motif batik dan dibatik.
Bahan - bahan
a. Mori
Mori adalah bahan baku batik dari katun. Kwalitet mori bermacam-macam, dan jenisnya sangat menentukan baik buruknya kain batik yang dihasilkan. Karena kebutuhan Mori dari macam-macam kain tidak sama, keterangan dibawah ini barangkali bermanfaat juga.

1. Ukuran Mori
Mori yang dibutuhkan sesuai dengan panjang pendeknya kain yang dikehendaki. Ada juga kebutuhan yang pasti misalnya udeng atau ikat kepala. Udeng berukuran lebih atau kurang dari kebutuhan; oleh karena itu tidak dapat dipergunakan sesuai dengan pemakaian yang semestinya. Tetapi kain tidak pasti ukurannya. Jika pendek akan mempengaruhi kesempurnaan pemakainya; jika lebih panjang akan menambah sempurna dalam pemakaian.
Ukuran panjang pendek mori biasanya tidak menurut standar yang pasti, tetapi dengan ukuran tradisionil. Ukuran tradisionil tersebut dinamakan sekacu. Kacu ialah sapu tangan, biasanya berbentuk bujur sangkar (persegi). Maka yang disebut sekacu ialah ukuran perseginya mori, diambil dari ukuran lebar mori tersebut. Jadi panjang sekacu. dari suatu jenis mori akan berbeda dengan panjang sekacu dari mori jenis lainnya. Maka lebar mori sangat menentukan panjang masing-masing jenis mori, meskipun jumlah kacunya sama. Cara mengukurnya pun hanya dengan jalan memegang kedua sudut mori pada sebuah sisi lebar dan menempelkan salah satu sudut tadi pada sisi panjang berseberangan sepanjang lebar mori. Kalau akan mengambil beberapa kacu, maka berganti-ganti tangan kiri dan kanan memegang sudut mori itu, menempelkan pada sisi panjang yang sama dengan menekuk mori.
2. Kebutuhan Akan Mori
Kain dodot membutuhkan mori 7 kacu. Kain dodot biasanya dipakai oleh keluarga keraton atau penari klasik. Tetapi karena kain dodot mahal harganya, maka fungsi kain dodot para penari diganti oleh kain biasa yang cukup panjang. Kain nyamping membutuhkan 2 atau 2,5 kacu, menurut kesenangan atau besar kecilnya si pemakai. Udeng membutuhkan mori sekacu. Udeng ada dua macam : œudeng lembaran dan œudeng jadi. Udeng jadi ialah udeng yang sudah terbentuk, tinggal pakai. Udeng jadi ini sebenarnya hanya membutuhkan kain setengah kacu, dan memotongnya secara diagonal. Sedang udeng lembaran dibentuk sewaktu akan dipakai, langsung dikepala si pemakai; selesai dipakai udeng itu dilepas lagi. Udeng terakhir ini membutuhkan mori sekacu ; tetapi secara praktis juga hanya setengah kacu, karena setengah kacu lagi terlipat didalam sebagai penebal belaka. Oleh karenanya udeng lembaran dapat dibatik menurut dua macam motif batik dengan batas salah satu diagonal. Dalam dalam hal udeng yang memakai dua macam motif batik itu, si pemakai bebas memilih motif mana yang ditaruh diluar untuk diperlihatkan.
Kain kemben membutuhkan 5 kacu, dan dapat kurang atau lebih sesuai dengan besar kecilnya si pemakai. Fungsi kemben dapat disamakan dengan BH jaman sekarang. Sering fungsi kemben diganti oleh kutang (BH Klasik). Tetapi banyak orang perempuan memakai kutang dan kemben bersamaan dan bahkan masih memakai baju (kebaya). Biasanya kemben dipakai oleh Abdi Istana sebagai ganti kebaya.
Celana membutuhkan 1,5 kacu; juga tergantung besar kecilnya si pemakai. Orang laki-laki jaman dahulu (sebelum tahun 1940 an) banyak memakai celana batik sampai lutut. Selain memakai celana sering masih memakai sarung atau bebet. Bebet yaitu sama dengan nyamping bagi perempuan. Tetapi bebet biasanya diwiru salah satu ujung kainnya, dan wiru terletak pada bagian depan. Diwiru artinya dilipat kecil-kecil bentuk spiral. Kain sarung membutuhkan 2 kacu.
3. Mengolah Mori Sebelum Dibatik
sebelum dibati mori harus diolah lebih dahulu. Baik buruknya pengolahan akan menentukan baik buruknya kain. Pengolahan mori sebagai berikut:
Mori yang sudah dipotong diplipit. Diplipit adalah dijahit pada bekas potongan supaya benang pakan tidak terlepas. Benang pakan ialah benang yang melintang pada tenunan. Setelah diplipit kemudian di cuci dengan air tawar sampai bersih. Kalau mori kotor, maka kotoran itu akan menahan meresapnya cairan lilin (malam) yang dibatikan dan menahan cairan warna pada waktu proses pembabaran. Di daerah Yogyakarta dan Surakarta mori dijemur sampai kering setelah dicuci bersih mori terus direbus.
Cara merebus mori di daerah Blora. Lebih dahulu orang membuat Wantu, yaitu air yang dipanaskan dalam suatu wadah sebelum sesuatu barang yang direbus di masukkan didalamnya. Wadah untuk membuat Wantu diberi dasar di dalamnya, supaya barang rebusan tidak hangus. Sebagai wadah dasar tadi digunakan daun bambu, daun pepaya atau merang (tangkai bulir padi). Bahan-bahan tadi lebih baik dari bahan lainnya untuk dasar merebus sesuatu, karena meskipun hangus tidak akan mengerut dan arangnya tidak mengotori mori.
Setelah wantu panas, mori bersih dimasukkan di masukan di dalamnya. Cara memesukkan mori kedalam wantu mulai dari ujung sampai pangkal secra urut. Rebusan memakan waktu beberapa menit. Mori kemudian diangkat dan dicuci untuk menghilangkan kotoran sewaktu direbus. Selesai dicuci barulah dijemur sampai kering. Mori menjadi lemas ; kemudian dikanji. Bahan kanji ialah beras. Di daerah Blora dipakai sembarang beras asalkan putih. Beras direndam beberapa saat dalam air secukupnya; kemudian beras bersama airnya direbus sampai mendidih. Air rebusan beras diambil dan dinamakan tajin. Mori kering dimasukkan kedalam tajin sampai merata; tanpa diperas langsung dijemur supaya kering. Akhirnya mori menjadi kaku.
Tetapi didaerah Yogyakarta dan Surakarta pada jaman sebelum perang bahan kanji terbuat dari beras ketan; dan cara pembuatannya pun berbeda-beda. Ada yang memakai cara seperti didaerah Blora, tetapi ada juga dengan cara beras dijadikan tepung halus. Apabila berupa tepung, sesenduk tepung diberi empat gelas besar air, dimasak sampai mendidih, kemudian disaring. Air saringan seukuran tadi hanya untuk mori sekacu.
Mori kering sehabis dikanji akan mengerut dan kaku. Maka mori diembun-embunkan setiap pagi beberapa hari. Diembun-embunkan ialah dibentangkan diluar rumah waktu pagi hari ( jam 5.00), supaya menjadi lembab karena air embun.
Selain mori lembab, kemudian dikemplong. Di Kemplong ialah di pukuli pada tempat tertentu dengan cara tertentu pula, supaya benang-benang menjadi kendor dan lemas, sehingga cairan lilin dapat meresap.
Cara mengemplong mori. Disediakan kayu kemplongan sebagai alas dan alu pemukul atau ganden (ganden ialah martil agak besar terbuat dari kayu). Mori dilipat memanjang menurut lebarnya. Lebar lipatan lebih kurang setengah jengkal ; kemudian ditaruh diatas kayu dasar memanjang, lalu dipukul-pukul. Jika perlu dibolak-balik agar pukulan menjadi rata.
Selesai dikemplong, tinggal menentukan motif matikan yang dikehendaki. Jika ingin motif parang-paragan, atau motif-motif yang membutuhkan bidang-bidang tertentu, maka mori digaris terlebih dahulu. Fungsi pengarisan ini hanyalah untuk menentukan letak motif agar menjadi rapi (lurus). Pembatik yang sudah mahir tidak menggunakan penggarisan. Besar kecilnya garisan tidak sama, tergantung pada motif rencana batikan. Biasanya kayu garisan berpenampang bujur sangkar. Cara memindah kayu penggaris setelah garisan pertama ke garis kedua ialah dengan memutar kayu penggaris (membalik), tanpa mengangkatnya. Maka lebar sempitnya ruang antara garis satu sama lain ditentukan oleh banyaknya putaran kayu penggaris. Mori yang dibatik motif semen tidak perlu digaris, langsung dirangkap dengan pola pada muka mori sebaliknya. Setelah semua itu selesai, barulah dapat dimulai kerja membatik.
Pola
Pola ialah suatu motif batik dalam mori ukuran tertentu sebagai contoh motif batik yang akan dibuat
Malam
Lilin atau lilin malam ialah bahan yang dipergunakan untuk membatik. Sebenarnya malam tidak habis (hilang), karena akhirnya diambil kembali sewaktu proses mbabar, proses pengerjaan dari membatik sampai batikan menjadi kain. Tentang malam dapat dikemukakan sebagai berikut: